Nyepi 2009, Semua Radio dan TV di Bali Tidak Siaran

0
Hari Nyepi untuk membuka tahun baru Saka 1931 jatuh pada Kamis, 26 Maret 2009. Saat itu, seperti yang berlangsung pada tahun-tahun sebelumnya, masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu, akan melaksanakan empat brata penyepian: tidak menyalakan api (amati gni), tidak bekerja (amati karya), tidak bepergian (amati lelungan), dan tidak mengadakan hiburan (amati lelanguan).

Untuk menghormati hari suci tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Bali secara resmi meminta radio dan TV tidak bersiaran mulai Kamis, 26 Maret pukul 06.00 Wita hingga Jumat 27 Maret pukul 06.00 Wita. Jadi, pada hari Nyepi itu Bali akan senyap dari segala macam keramaian, sehingga sangat kondusif bagi umat Hindu (atau siapa saja) yang hendak melakukan kontemplasi dan introspeksi diri.

Rangkaian Upacara

Pelaksanaan Nyepi ini terdiri dari serangkaian upacara yang dimulai dengan upacara Melasti yang dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pada saat upacara Melasti umat Hindu mengusung pratima (personifikasi Kekuasaan Tuhan) dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa untuk disemayamkan.

Sehari menjelang Nyepi, umat Hindu melaksanakan upacara Mecaru yaitu upacara untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam sekitar, termasuk dengan mahluk-mahluk astral yang disebut dengan bhuta kala. Upacara ini diselenggarakan di lapangan terbuka atau perempatan jalan dan di lingkungan rumah masing-masing. Upacara untuk wilayah provinsi, kabupaten da kecamatan dilakukan pada tenga hari. Sedangkan upacara di masing-masing rumah dilakukan menjelang sore (sandyakala).

Setelah mecaru, acara dilanjutkan dengan ngrupuk yakni membawa obor dan menaburkan nasi tawur mengelilingi rumah. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini merupakan lambang nyomia atau menetralisir unsur-unsur kekuatan jahat di alam semesta ini.

Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bambu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.

Keesokan harinya, tibalah Hari Raya Nyepi. Pada hari ini dilakukan Catur Brata Penyepian di mana umat Hindu Bali tidak melaksanakan empat hal yang telah dipaparkan di atas itu. Dengan tidak menyalakan api (termasuk mesin dan listrik), tidak bepergian, tidak bekerja, dan tidak menikmati hiburan, pada hari itu umat Hindu melakukan kontemplasi yang dibarengi dengan upawasa (puasa) dan mona brata (tidak berbicara) selama 24 jam.

Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni, yakni sehari setelah Nyepi. Pada hari inilah Tahun Baru Saka dimulai. Pada hari itu umat Hindu bersilaturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, untuk saling maaf-memaafkan (ksama).

Post a Comment

0Comments

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*